Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nasihat : Peran dan Posisi Orang Tua dalam Mendidik Anak

PARENTS ARE LIKE A PENCIL
Peran dan Posisi Orang Tua dalam Mendidik Anak

Peran dan Posisi Orang Tua dalam Mendidik Anak - Children are like a blank sheet of paper. Demikianlah orang-orang barat berkata. Anak-anak bagaikan kertas putih, yang akan menerima apapun yang ditulis orang tuanya di atas kertas tersebut.

Jika anak diibaratkan seperti kertas, berarti metafora yang paling tepat untuk mengumpamakan orang tua adalah pensil! Wahai para orang tua, kita semua adalah seumpama pensil. Mari kita renungkan bagaimana menjadi sebuah pensil yang baik.

Sebuah pensil jika terus dipakai untuk menulis lambat laun akan menjadi tumpul, maka pensil tersebut perlu diraut kembali agar menjadi tajam seperti sedia kala.

Sebagai orang tua, kita harus selalu update pengetahuan baru setiap saat. Ingatlah bahwa zaman berubah, masa berganti, anak kita menerima informasi lebih cepat dari orang tuanya. 

Jika orang tua terus mendidik dengan ilmu yang statis, lambat laun akan menjadi tumpul. Maka meraut pensil itu berarti kembali belajar kepada ahlinya, membaca buku, dan mencoba hal-hal baru.

Mungkin belajar itu sedikit melelahkan, apalagi jika usia sudah tua. Sama seperti pensil, ketika ia diraut tentu terasa sedikit menyakitkan. Tetapi hanya dengan begini pengetahuan sang orang tua kembali menjadi tajam seperti sedia kala.

Sifat berikutnya dari sebuah pensil adalah rela mengakui kesalahan. Coba lihat, bukankah banyak pensil yang kemana-mana selalu membawa penghapus. Terkadang penghapus ini permanen berada pada pangkal bagian atas dari pensil itu sendiri. 

Seolah-olah ia berkata, "Aku hanya sebuah pensil yang bisa salah saat menulis. Maka gunakan penghapus ini untuk menghapus kesalahanku."

Orang tua yang baik tentu berani mengakui kesalahannya kepada anak-anak. Jangan maunya menang sendiri, apalagi jika anak sebetulnya tahu kalau orang tuanya bersalah namun ia tak mendapat contoh seperti apa perbuatan meminta maaf itu. 

Kelak anak seperti ini saat dewasa juga tidak akan bisa mengakui kesalahan, apalagi meminta maaf pada orang lain. Karena ia tidak pernah tahu contohnya dari sang orangtua. 

Dalam Tafsir Ibnu Katsir diceritakan, suatu hari Khalifah Umar berencana membuat peraturan agar mahar pernikahan yang lebih dari 40 uqiyah akan dialokasikan untuk Baitul Mal. 

Ketika itu seorang perempuan mendekatinya lalu membacakan Surat An-Nisa ayat 20, yang menyebutkan larangan seseorang mengambil kembali mahar yang sudah diberikan. Khalifah pun menyadari bahwa rencana beliau kurang tepat. Maka hal tersebut dibatalkan kembali sambil berkata, 

امرأة أصابت ورجل أخطأ

"Perempuan itu yang benar, dan lelaki ini yang salah."

Lihatlah bagaimana seorang Amirul Mukminin saja berani mengakui kesalahan. Maka pantaskah kita jika saat berbuat salah, justru mencari-cari alasan dan pembenaran. 

Orang tua layaknya pensil, yang selalu sedia penghapus dan siap dihapus kesalahannya jika memang bersalah. Dengan demikian anak-anak kita akan mendapati tulisan pensil yang benar dalam lembaran kertas putih mereka. 

Salam Hijrah. 

Waktunya bangun dan berubah dari tidur panjang kita!